- PENUTUPAN ORIENTASI ANGGOTA DPRD TANA TORAJA: FOKUS PADA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
- WEBINAR SERIES SERI 15: MEMBANGUN SENSE OF BELONGING DITEMPAT KERJA
- ORIENTISI DPRD KOTA MAKASSAR 2024 RESMI DIBUKA
- MEMBANGUN SINERGITAS: RAPAT KOORDINASI FORKOPIMDA SULSEL UNTUK MEWUJUDKAN PEMERINTAN YANG EFEKTIF
- MENGHADIRI ACARA PERTANDINGAN OLAHRAGA PERINGATAN HUT KE-355 PROVINSI SULSEL DI RUJAB GUBERNUR
- CERAMAH UMUM DARI KEPALA BPSDM PROV. SULSEL PADA KEGIATAN ORIENTASI PPPK ANGK. XXI PEMKAB. GOWA
- WEBINAR SERIES SERI 15: MEMBANGUN SENSE OF BELONGING DITEMPAT KERJA
- Pembukaan Seleksi Daerah Tahun 2024 Calon Kompetitor The 14th Worldskills ASEAN Competition 2025
- Implementasi Aksi Perubahan: PKA Angkatan 9 dan PKP Angkatan 18 Bersama-sama Mewujudkan Inovasi
- Peserta PKA Angkatan 9 Gelar Ujian Akhir: Implementasi Aksi Perubahan di BPSDM Sulsel
MEMAHAMI PROSEDUR PEMBERIAN INFORMED CONSENT DALAM PRAKTEK KEDOKTERAN
Berita Terkait
- PIMPIN APEL PAGI, KEPALA BPSDM SULSEL SAMPAIKAN PEMBERIAN TPP MODEL BARU0
- ASRI SAHRUN SAID BERKUNJUNG KE KEJATI SULSEL0
- KEPALA BPSDM SULSEL BINCANG SANTAI DENGAN DIREKTUR IPDN KAMPUS GOWA0
- INDIKATOR MUTU PELAYANAN0
- PENTINGNYA ANALISIS KEBUTUHAN DIKLAT DALAM CORPORATE UNIVERSITY0
- PEMIMPIN BERKARAKTER SPIRITUAL BAGIAN KE 20
- QUA VADIS SMART ASN DIERA GLOBALISASI0
- INTEGRITAS DAN PROFESIONALISME ASN DI ERA MILENIAL0
- PENGUKURAN SKALA TINGGALAN SEJARAH SEBAGAI KEGIATAN INOVASI PADA DINAS PARIWISATA KAB. TORUT0
- BPSDM SULSEL LAKSANAKAN FORUM PERANGKAT DAERAH DI GRAND ASIA HOTEL0
Berita Populer
- MEMAHAMI PROSEDUR PEMBERIAN INFORMED CONSENT DALAM PRAKTEK KEDOKTERAN
- APA ITU ASN DAN PPPK ?
- ANALISIS KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH PENGETAHUAN WAJIB BAGI PARA PEMIMPIN DAERAH
- KENALI PELATIHAN PEMBEKALAN / ORIENTASI PEGAWAI PEMERINTAH DENGAN PERJANJIAN KERJA (PPPK).
- MENEMUKAN KEMBALI PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI
- MENGENAL JABATAN FUNGSIONAL PRANATA HUMAS BAGIAN KE DUA
- MENGENAL SINGKATAN PEJABAT DALAM PEMERINTAHAN Plt. Plh. Pj. dan Pjs.
- INTEGRITAS DAN PROFESIONALISME ASN DI ERA MILENIAL
- INTEGRITAS DAN KEPEMIMPINAN
- MENGENAL SERVANT LEADERSHIP
ABSTRAK
Informed conset atau persetujuan tindakan medis atau persetujuan tindakan kedokteran merupakan suatu persetujuan yang dibuat oleh pasien atau keluarganya, untuk memberikan izin terhadap dokter dalam melakukan serangkaian pemeriksaan, menetapkan diagnosis , melakukan pemeriksaan fisik dan penunjang medis dan melakukan tindakan medis tertentu kepada pasien. Persetujuan tersebut diberikan oleh pasien atau keluarganya setelah melalui suatu proses komunikasi interpersonal dua arah yang berimbang. Dalam proses komunikasi tersebut dokter memberikan penjelasan atau informasi medis kepada pasien perihal diagnosa penyakit dan tata cara tindakan medis; tujuan tindakan medis yang dilakukan; alternatif tindakan lain dan risikonya; risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan, sedangkan pasien dapat mempertanyakan hal-hal yang dianggap kurang jelas, mempertanyakan pengalaman dokter dalam menangani kasus yang sama seperti dialami oleh pasien , mempertanyakan kemungkinan resiko , mempertanyakan alternatif tindakan lain dengan segala keuntungan dan kerugian dan mempertanyakan kemungkinan besaran biaya yang harus ditanggung oleh pasien. Persetujuan tindakan medis yang diberikan oleh pasien atau keluarganya harus bebas dari intervensi , tekanan atau ketakutan. Apapun yang diputuskan oleh pasien harus dihargai .
Pengertian Informed Consent
Istilah informed consent (persetujuan tindakan) merupakan salah satu istilah yang paling sering disebut atau paling sering digunakan dalam praktek kedokteran, karena setiap kali dokter akan melakukan suatu tindakan medik tertentu kepada pasien akan selalu berhubungan dengan istilah ini. Meskipun istilah ini sudah sering disebutkan dan digunakan dalam praktek kedokteran , namun esensi dari Informed consent belum semua dipahami dengan baik dan benar oleh dokter , sehingga dalam penerapannya terkadang masih dijumpai permintaan persetujuan tindakan medis kepada pasien atau keluarganya asal seadanya saja, tanpa melalui proses atau mekanisme yang benar sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Praktek Kedokteran [1]
Sebagai bentuk kurangnya pemahaman terhadap informed consent, masih sering dijumpai seorang dokter mewakilkan permintaan persetujuan tindakan medis dari pasien atau keluarganya melalui perawat, bidan atau penata anastesi yang bertugas di kamar operasi. Dalam hal demikian, basanya pasien atau keluarganya hanya disodorkan berkas persetujuan tindakan medis untuk ditandatangani tanpa mendapatkan penjelasan yang cukup mengenai tindakan apa yang akan dilakukan, cara pelaksanaan tindakan dan kemungkinan resiko yang dapat terjadi atas pelaksanaan tindakan tersebut.
Mungkin saja hal ini dianggap sepele dengan alasan bahwa pasien telah menandatangani berkas persetujuan sebagai bukti bahwa pasien telah menyatakan persetujuannya. Namun dari sudut pandang hukum , persetujuan tindakan medis tanpa mendapatkan penjelasan yang cukup dari dokter yang akan melakukan tindakan tersebut dapat dianggap cacat prosedur sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan berpotensi untuk menimbulkan sengketa medis.
Informed consent terdiri dari dua kata yaitu informed dan consent. John M. Echols (2003) memberi pengertian informed yaitu telah mendapatkan penjelasan atau keterangan telah disampaikan atau diinformasikan. Sedangkan consent yang berarti persetujuan yang telah diberikan pada seseorang untuk berbuat sesuatu[2]. Jadi informed consent dapat diartikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien kepada dokter untuk melakukan tindakan kedokteran tertentu setelah mendapatkan penjelasan dari dokter yang bersangkutan.
Setiap tindakan kedokteran yang akan dilakukan oleh dokter harus mendapatkan persetujuan dari pasien[3]. Persetujan tersebut diberikan oleh pasien setelah mendapatkan penjelasan yang cukup dari dokter yang akan melakukan tindakan medis tersebut[4] . Pemberian penjelasan oleh dokter kepada pasien sekurang-kurangnya mencakup diagnosis dan tata cara tindakan medis; tujuan tindakan medis yang dilakukan;
alternatif tindakan lain dan risikonya; risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan[5].
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat dipahami bahwa esensi dari persetujuan tindakan medis terletak pada proses atau tatacara dalam mencapai persetujuan yang akan diberikan oleh pasien atau keluarganya kepada dokter. Sedangkan berkas Persetujuan tindakan medis merupakan pengukuhan atas persetujuan yang telah dibuat oleh pasien atau keluarganya untuk memberi izin kepada dokter dalam melaksanakan tindakan medis.
Proses atau tatacara memperoleh persetujuan tindakan medis tidak dirinci dengan jelas dalam Undang-Undang Praktek Kedokteran. Namun secara tersirat di dalam ketentuan Pasal 45 Undang-Undang Kedokteran dapat dikonstruksikan suatu proses atau tatacara dalam memperoleh persetujuan tindakan medis dari pasien atau keluarganya sebagai berikut:
- Diawali dengan sebuah hubungan hukum dalam suatu perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien
- Adanya komunikasi terapeutik interpersonal dua arah secara berimbang yaitu antara dokter yang akan melakukan tindakan medis tanpa diwakili dan kepada pasien yang cakap menurut ketentuan perundang-undangan atau keluarganya yang berhak menurut ketentuan perundang-undangan.
- Komunikasi terapeutik yang dibangun adalah pemberian informasi dan penjelasan dari dokter kepada pasien dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh pasien dan sebaliknya pasien menyampaikan informasi kepada dokter secara lengkap, jujur dan benar mengenai keluhan atau penyakit yang dialaminya, termasuk mempertanyakan secara terbuka dan bebas terhadap hal-hal yang tidak dipahami atas penjelasan yang diberikan oleh dokter.
- Informasi atau penjelasan yang diberikan oleh dokter kepada pasien sekurang-kurangnya menyangkut diagnosis dan tata cara pelaksanaan tindakan medis, mengenai diagnosis penyakit, tujuan tindakan medis yang dilakukan;
alternatif tindakan lain dan risikonya; risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan - Pasien mengambil keputusan untuk memberi persetujuan atau penolakan terhadap tindakan medis yang akan dilakukan secara indepen, tanpa tekanan atau paksaan yang harus dihormati oleh dokter.
Pengaturan mengenai persetujuan tindakan medis dalam praktek kedokteran merupakan suatu perintah hukum , sehingga berkas persetujuan tindakan medis (Informed consent) yang telah ditanda tangani oleh pasien bukan hanya sekedar kelengkapan adminstratif belaka, melainkan telah menjadi sebuah alat bukti hukum yang sah yang dapat diajukan oleh dokter atau pihak rumah sakit ketika menghadapi gugatan atau tuntutan hukum dari pasien atau keluarganya[6].
Persetujuan tindakan medis (Informed consent) dalam hubungan hukum perjanjian terapeutik tanpa melalui suatu proses atau tata cara yang benar menurut hukum, dipandang sebagai suatu perjanjian yang tidak sah dan batal demi hukum atau dianggap bahwa perjanjian tersebut tidak pernah lahir. Sebagai konsekwensi hukumnya adalah segala kerugian , cacat atau kematian yang dialami oleh pasien menjadi tanggung jawab hukum dokter atau pihak rumah sakit.
Suatu perjanjian dianggap sah dan mengikat apabila adanya kesepakatan atau persetujuan dari para pihak yang akan mengadakan suatu perjanjian[7]. Perjanjian dianggap telah terjadi apabila para pihak telah membuat suatu kesepakatan atau persetujuan. Kesepakatan atau persetujuan merupakan pertemuan kehendak dari masing-masing pihak yang terlibat dalam perjanjian. Seorang yang memberikan kesepakatan atau persetujuan berarti benar-benar menghendaki apa yang disepakatinya [8]
Suatu kesepakatan atau persetujuan harus dinyatakan baik dalam bentuk lisan, tulisan ataupun gesture yang dapat dimaknai sebagai kesepakatan atau persetujuan. Kesepakatan harus terjadi secara timbal balik dari para pihak yang mengadakan perjanjian yaitu apa yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan oleh pihak yang satu terhadap pihak lainnya atau apa yang harus diterima oleh pihak yang satu dan apa yang harus dilakukan oleh pihak lainnya secara timbal balik. Kesepakatan merupakan salah satu syarat sahnya sebuah perjanjian[9].
Suatu kesepakatan atau pertemuan kehendak dari para pihak yang terlibat dalam perjanjian tidak terjadi secara spontan, melainkan melalui suatu proses penjelasan dan pemberian informasi mengenai hal-hal apa yang dikehendaki oleh masing-masing pihak yang sekiranya dapat diterima oleh pihak yang lainnya. Dalam hal ini terjadi dialog atau negosiasi yang berlangsung secara seimbang, maka ketika terjadi suatu kesepakatan, maka kesepakatan tersebut adalah kesepakatan bersama. Kesepakatan bersama inilah yang kemudian menjadi dasar perikatan diantara para pihak yang kemudian berlaku sebagai undang-undang diantara mereka[10].
Demikian halnya dengan persetujuan tindakan medis antara dokter dan pasien, seharusnya melalui suatu proses dialog atau negosiasi yang seimbang antara yang dikehendaki oleh dokter untuk dilakukan pasien dan yang dikehendaki oleh pasien untuk dilakukan dokter. Timbulnya kata sepakat diantara diantara mereka menjadi dasar hukum bagi dokter dalam melakukan suatu tindakan medis kepada pasien dan sebaliknya menjadi dasar hukum bagi pasien untuk membayar segala biaya dan jasa pelayanan atas tindakan medis yang diterimanya.
Informed Consent sebagai sebuah hubungan hukum perjanjian terapeutik, maka kedudukan dokter dan pasien adalah setara yakni masing-masing bertindak sebagai subyek hukum yang memiliki hak dan kewajiban. Kewajiban dokter merupakan hak yang harus diterima oleh pasien dan sebaliknya kewajiban pasien merupakan hak yang harus diterima oleh dokter atau pihak rumah sakit. Suatu hubungan disebut sebagai hubungan hukum apabila hubungan tersebut diatur oleh hukum dan akibat yang ditimbulkan juga diatur oleh hukum.
Beberapa Pengertian informed Consent yang dikemukakan oleh para sarjana, yaitu antara lain :
- Menurut Appelbaum, Informed Consent bukan sekedar formolir persetujuan yang didapat didapat dari pasien, tetapi merupakan suatu proses komunikasi. Tercapainya kesepakatan antara dokter dan pasien merupakan dasar dari seluruh proses tentang informed consent. Formolir itu hanya merupakan pengukuhan atau pendokumentasian dari apa yang telah disepakati[11]
- Menurut Faden dan Beauchamp, informed consent adalah hubungan antara dokter dan pasien berasaskan kepercayaan . adanya hak otonomi atau menentukan nasib atas dirinya sendiri dan adanya hubungan perjanjian antara dokter dan pasien[12].
- Menurut A.Ampera (2018). Pada hakikatnya Hak persetujuan tindakan medis (informed consent), adalah suatu proses komunikasi antara dokter dan pasien tentang kesepakatan sebuah tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien (ada kegiatan penjelasan rinci oleh dokter). Penanda tanganan formulir Informed Consent secara tertulis hanya merupakan pengukuhan atas apa yang telah disepakati sebelumnya[13]
- Menurut Permenkes 290/2008, Persetujuan Tindakan Kedokteran (informed Consent) adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien[14].
Kewajiban untuk mendapatkan persetujuan Tindakan medis sebelum melakukan suatu tindakan medis bagi dokter merupakan suatu kewajiban hukum dan kewajiban moral yang harus dipatuhi. Disebut sebagai kewajiban hukum karena diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan disebut sebagai kewajiban moral karena diatur dalam kode etik kedokteran Indonesia (KODEKI) sebagai sebuah pedoman berperilaku bagi seorang dokter dalam menjalankan praktek kedokterannya.
Kewajiban hukum dokter untuk mendapatkan persetujuan tindakan sebelum melakukan suatu tindakan medis diatur dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek kedokteran , sedangkan kewajiban moral diatur dalam Pasal 14 KODEKI[15], mengenai kewajiban etis dokter terhadap pasien. Selain merupakan suatu kewajiban hukum dan moral, pelaksanaan tindakan medis setelah mendapatkan persetujuan tindakan dari pasien atau keluarganya merupakan bentuk penghargaan atas Hak Azasi Manusia (HAM) yang bertumpu pada hak asasi untuk menentukan diri sendiri (the right to self determination) dan Hak azasi dalam mendapatkan pelayanan kesehatan (the right to health care)[16]
Hak menentukan diri sendiri (the right to self determination) dalam pelayanan kesehatan merupakan hak azasi manusia untuk menentukan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan oleh dokter terhadap diri pasien. Sedangkan Hak atas pelayanan kesehatan ( the right to health care) adalah hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang aman, berkualitas, terjangkau dan non diskriminatif.
Pelaksanaan Informed consent dalam konteks HAM adalah sampai sejauh mana para dokter dapat menghargai keputusan setiap pasien untuk menyetujui atau menolak suatu tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya sendiri secara bebas tanpa tekanan ataupun paksaan dan terhindar dari rasa ketakutan atas keputusan yang diambilnya. Sekalipun pasien telah menolak tindakan medis yang akan diberikan oleh dokter, tidaklah berarti dokter harus lepas tangan atau memutuskan hubungan hukum secara sepihak. Seorang dokter terikat dengan sumpah dokter dan kode etik kedokteran untuk menjalankan tugas kedokterannya dengan cara yang terhormat dan bersusila sesuai dengan martabat profesi kedokteran.
Perlakuan dokter yang dengan sengaja menelantarkan pasien yang menolak pengobatan atau tindakan medis merupakan perbuatan yang dapat diancam pidana, jika oleh perlakuan tersebut (omission) membuat kesehatan pasien semakin menurun atau bahkan sampai mengalami kematian
Dasar Hukum
Pelaksanaan Informed consent merupakan sebuah kewajiban yang harus dipatuhi oleh dokter dalam setiap penyelenggaraan praktek kedokteran khususnya dalam hal pemberian tindakan medis tertentu kepada pasien. Informed Consent merupakan persyaratan awal yang harus dipenuhi sebelum pelaksanaan tindakan medis , agar tindakan yang dilakukan oleh dokter dianggap sah oleh hukum dan dapat memberikan perlindungan hukum bagi dokter
Beberapa aturan hukum yang menjadi dasar pelaksanaan Informed consent yaitu antara lain :
- Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek kedokteran yang menyatakan bahwa “Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan”.
- Pasal 37 ayat (1) UU Nomor 44 Tahun 2004 Tentang Rumah sakit yang menyatakan bahwa “Setiap tindakan kedokteran yang dilakukan di Rumah Sakit harus mendapat persetujuan pasien atau keluarganya”
- Pasal 56 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap”
- Pasal 58c UU Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan menyatakan bahwa “ Tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik , memperoleh persetujuan dari penerima pelayanan kesehatan atau keluarganya atas tindakan yang akan diberikan”
- Pasal 2 ayat (1) Permenkes RI Nomor 290 /Menkes/ Per/ III/ 2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran menyatakan bahwa “Semua tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat pesetujuan”
Dari serangkain peraturan perundang-undangan dibidang kesehatan tersebut sangat nampak dengan jelas bahwa setiap tindakan medis yang akan dilakukan oleh dokter terhadap pasien haruslah atas persetujuan pasien. Negara memberikan perlindungan terhadap hak pasien dalam kebebasan untuk menentukan pilihan dapat atau tidak suatu tindakan medis dilakukan terhadap dirinya.
Pelaksanaan tindakan medis yang dilakukan oleh dokter atau pihak rumah sakit tanpa pemberitahuan dan persetujuan terlebih dahulu dari pasien merupakan sebuah perbuatan malpraktek medis (medical malpractice) baik karena kesengajaan ataupun karena kelalaiannya, sehingga dapat dituntut secara hukum atas kejadian yang menimbulkan kerugian pada pasien
Tindakan medis yang dengan sengaja dilakukan tanpa persetujuan pasien atau keluarganya seperti menyuntik , mengiris dan memotong jaringan tubuh pasien dianggap sebagai tindak pidana penganiayaan . Menurut Tirtaamidjaja (1955), Penganiayaan (menganiaya) adalah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. akan tetapi suatu perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan[17]
Dari pengertian yang dikemukakan oleh Tirtaadmidjaya,adanya rasa sakit atau luka pada orang lain tersebut tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan jika dilakukan untuk menolong menyembuhkan dan memulihkan kesehatan. Namun rumusan ini masih perlu dilengkapi dengan pernyataan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan pasien. Selanjutnya R. Susilo (1985), menjelaskan bahwa meskipun undang-undang tidak merinci dengan jelas pengertian penganiayaan namun menurut Yurisprudensi, Penganiayaan adalah sebuah perbuatan dengan sengaja menimbulkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit atau luka pada diri seseorang
Kesimpulan
Pelaksanaan informed consent yang benar sebagai dasar hukum pelaksanaan tindakan medis yang akan dilakukan oleh dokter terhadap pasien harus menurut prosedur atau tata cara yang diatur oleh hukum , sebagai perbuatan hukum para pihak yang dapat berakibat hukum. Suatu persetujuan yang dibuat tanpa disertai penjelasan yang cukup dapat dipandang sebagai cacat hukum dan dianggap tidak sah , sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
[1] Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran dan Kedokteran Gigi.
[2] M.Echols, John dan Hassan Shadily, 2003. Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
[3] Opcit. Pasal 45 ayat (1)
[4] Ibid. Pasal 45 ayat (2).
[5] Ibid. Pasal 45 ayat (3)
[6] Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP). Pasal 184 ayat (1)
[7] Gautama,Sudargo. 1995 Indonesian Business Law. Bandung : Citra Aditya Bakti, hal.76.
[8] J. Satrio, 1995. Perikatan Lahir dari Perjanjian, Buku I. Bandung: Citra Aditya Bakti, hal.164
[9] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1320.
[10] Ibid. Pasal 1338.
[11] Hanafiah Yusuf dan Amri Amir, 1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran ECG . hlm 74
[12] Achadiat M. Chrisdiono, 2007. Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran Dalam Tantangan Zaman. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran ECG.hlm 74
[13] Ampera. A. 2018. Tanggung Jawab Rumah Sakit Dalam Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan . Al Islah : Jurnal Ilmiah Hukum Vol. 20 ( 2) .hlm.67
[14] Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 269/Menkes/Per/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.Pasal 1 angka 1.
[15] Kode Etik Kedokteran Indonesia ,2012. Jakarta: PB.IDI .Pasal 14.
[16] Deklrasi Umum Hak Asasi Manusia . Pasal 25.
[17] Tirtaamidjaja, 1955 Pokok-pokok Hukum Pidana. Jakarta: Fasco , hal. 174